Emas dan Perak Bukan Lagi Barang Ribawi

Imam Rafi'i dalam kitab al-Aziz menyebutkan alasan emas dan perak menjadi barang ribawi. Beliau berkata:

(واما) النقدان فعن بعض الاصحاب ان الربا فيهما لعينهما لا لعلة والمشهور ان العلة فيها صلاح التنمية الغالبة وان شئت قلت جوهرية الاثمان غالبا والعبارتان تشملان التبر والمضروب والحلى والاوانى المتخذة منهما وفي تعدى الحكم إلى الفلوس إذا راجت حكاية وجه لحصول معني التنمية والاصح خلافه لانتفاء التنمية الغالبة
[الرافعي ، عبد الكريم، فتح العزيز بشرح الوجيز = الشرح الكبير للرافعي، ١٦٤/٨]


Ada kesimpulan menarik dari pernyataan Imam Rafi'i di atas.

Menurut pendapat yang populer dikalangan Mazhab Syafi'i emas dan perak disebut barang ribawi bukan karena dzatiyah emas dan perak itu sendiri. Tapi karena ada illat (alasan) di dalamnya. Illatnya adalah emas dan perak itu adalah alat tukar utama atau yang disebut 'tsaman gholib'.

Nah. Selanjutnya kita tarik ke prinsip fikih yang mengatakan bahwa: "Ada dan tidak adanya hukum itu tergantung dengan ada dan tidak adanya illat"

الحكم يدور مع علته وجودا وعدما

Kita tahu hari ini emas dan perak bukan lagi alat tukar. Jadi illat ribawi yang terkandung di dalam emas dan perak itu sudah tidak ada. Tentu ketiadaan illat ini mengakibatkan emas dan perak bukan lagi barang ribawi. Karena sekali lagi, menurut pendapat mayoritas Syafi'iyah emas dan perak dianggap barang ribawi bukan karena dzatiyah emas dan perak itu sendiri. Tapi dikarenakan  illat yang terkandung di dalamnya. Jika illat itu hilang, maka ketentuan hukumnya pun menjadi hilang.

Jadi, saat ini emas dan perak sama dengan komoditi barang lainnya. Membeli emas dan perak sama seperti membeli kain atau baju. Membeli emas dan perak secara online juga sama seperti membeli barang biasa lainnya. Tidak ada aturan spesial dari jual-beli emas dan perak.

Pun pula demikian. Saat ini alat tukar kita adalah uang rupiah. Dengan demikian di dalam uang rupiah itu terkandung illat yang menjadikannya sebagai barang ribawi. Akibatnya, bertransaksi tukar menukar antar rupiah atau antara rupiah dan mata uang asing harus sesuai dengan ketentuan jual-beli ribawi yang super ketat itu.

Nah. Kesimpulan di atas sama persis dengan kesimpulan Ulama Al-Azhar, Syaikh Ali Jum'ah. Beliau mengatakan:


"لا مانع شرعًا من بيع الذهب المصوغ بالتقسيط، ولا يجب دفع القيمة نقدًا عند البيع؛ لأنه خرج عن كونه من الأثمان وصار كأي سلعةٍ من السلع التي تُبَاع وتُشْتَرى بالحَالِّ والآجِلِ، فانتفت عنه علة النقدية التي توجب كونه ربًا إذا لم يكن البيع يدًا بيد"

Artinya: Tidak apa-apa membeli emas dengan cara cicilan. Juga tidak wajib melakukan pembayaran kontan di muka. Karena emas bukan lagi alat tukar (اثمان). Emas sudah sama dengan barang dagangan lainnya yang bisa dijual dan dibeli secara kontan atau bertempo. Maka hilanglah illah yang menjadikan emas sebagai barang ribawi.

Pernyataan Syekh Ali Jum'ah di atas sebenarnya sudah cukup dibuat hujjah intisari tulisan ini. Tapi, kami lebih suka menggiring tulisan ini dari akar-akarnya dengan mengutip pendapat Imam Rafi'i kemudian ditutup dengan pernyataan Ulama'  mu'ashirin (kontemporer). Tujuannya, agar kita sama-sama memahami nalar yang dipakai oleh Ulama' kontemporer.

Wallahu A'lam.

Oleh: Luthfi Abdoellah Tsani, Pegiat Fikih Aplikatif.

Comments

Popular posts from this blog

Bu Risma: Dari Blusukan ke Pilgub DKI

Nalar Fiqih Jual Beli Online